Home » » "JIKA AKU MENJADI": BERSYUKUR BISA BELI BEBEK

"JIKA AKU MENJADI": BERSYUKUR BISA BELI BEBEK

Written By Unknown on Senin, 22 Oktober 2012 | 05.06




Ajuk Marjuki (80) kini tengah berbahagia. Betapa tidak, pria yang masih terlihat sehat di usia senjanya itu baru seminggu terakhir berhasil mewujudkan keinginan lamanya, untuk menambah jumlah ternak bebek miliknya, yang dari hari ke hari semakin berkurang karena faktor cuaca yang tidak mendukung.

Aki, begitu panggilan akrabnya mengaku bersyukur, karena berkat kemunculannya di acara Jika Aku Menjadi, yang disiarkan salah satu stasiun TV swasta, Trans TV pada Minggu (16 Desember 2007) sore lalu, bapak tiga anak ini bisa menambah modal untuk membeli bebek yang akan dijadikan usaha di hari tuanya sekarang.

Jumlah bebek yang semula hanya ada 60 ekor, kini bertambah menjadi 150 ekor. Aki pun terpaksa menambah satu kandang lagi tepat di belakang rumahnya, karena kandang lama sudah tak mampu lagi untuk menampung bebek barunya tersebut.

“Alhamdulillah, kemarin saya dikasih uang satu juta. Tadinya saya bingung mau saya gunakan memperbaiki rumah atau untuk usaha. Tapi akhirnya saya putuskan membeli seratus limapuluh bebek. Pikir saya, kalau beli bebek uangnya bisa berputar. Tapi karena hujan terus, bebeknya mati tinggal sembilan puluh ekor, mungkin karena masih terlalu kecil,” ucap Aki saat ditemui Nyata di rumahnya di desa Sukamakmur, kecamatan Sukakarya, Bekasi pada Jumat (21 Dsember 2007) siang lalu.

Sambil bercengkerama santai bersama Nyata di belakang rumahnya yang teduh, Aki tak pernah berhenti menyatakan rasa syukurnya karena diberikan rejeki tak terduga. Baginya, uang satu juta rupiah merupakan jumlah yang sangat besar, dan tak mungkin didapatkan dari penghasilannya selama ini yang hanya sebagai buruh tani dan peternak kecil bebek.
Menurutnya, seumur hidup ia juga tak menyangka jika bakal muncul di televisi, apalagi dengan kondisi perekonomiannya yang sangat kekurangan selama ini.

Namun justru karena kemiskinannya inilah, ia bersama istri, Asti Anni (52) dan ketiga anak mereka, akhirnya bisa merasakan bagaimana rasanya muncul di televisi.
“Saya nggak pernah bermimpi mendapat rejeki sebesar itu, apalagi sampai masuk televisi. Semuanya menjadi berkah. Tiba-tiba saja awal Desember lalu, pak Sekdes datang kepada saya, dan menawarkan mau nggak di ajak syuting. Saya sih mau-mau saja,” ujar Aki dengan bahasa sundanya yang kental.

Sederhana
Meski hidup serba kekurangan, namun Aki nampaknya sangat menikmati kehidupannya saat ini. Bersama istri dan tiga anaknya, Lemoh Normamah (12), Leman Widodo (11) dan Lemah Mekarsari (7), mereka hidup bahagia di gubug kecil mereka, yang jauh dari kesan mewah, bahkan bisa dibilang selalu bocor ketika hujan turun dengan deras.

Mereka juga sama sekali tak mengeluh meski setiap malam harus tidur di atas kasur tipis pemberian tetangga, sambil menahan dingin karena angin malam setiap saat bisa masuk ke dalam rumah. Maklum, bagian dapur rumah mereka tak memiliki pintu, dan sebagai penutup mereka cukup mengandalkan kain kusam yang dijadikan gorden.

Dinding rumah mereka pun hanya separo saja terbuat dari anyaman bambu, sisanya Aki menyiasati dengan memanfaatkan kain-kain bekas yang sudah robek di sana sini untuk dijadikan dinding rumah mereka. Bahkan sebagian kecil bagian dapur tak berpenutup, dan dibiarkan saja terbuka tanpa ada dinding yang menutupinya.

“Kalau kebetulan hujan, terasa semakin dingin, soalnya angin campur air di luar masuk. Saya sudah lama ingin menutup dindingnya pakai anyaman bambu semua. Tapi karena belum ada biaya terpaksa saya pakai kain bekas. Istri saya sendiri yang jahit pakai tangan. Saya juga menemukan karpet bekas di sungai, saya manfaatkan sekalian untuk menutupi dinding,” ungkap Aki.

Tak ada satupun furniture mewah di dalamnya. Di salah satu ruang yang mereka jadikan kamar, sekaligus ruang tamu, hanya ada satu tempat tidur ukuran sedang beralaskan kasur tipis bekas tetangga, dan satu tempat tidur kecil beralaskan kain jarik, tanpa dilengkapi satupun bantal maupun guling. Di sisi lain, ditempatkan dua buah lemari bupet kecil kusam, yang dijadikan lemari pakaian mereka.

Beberapa pakaian, sarung, dan tas sekolah Lemoh, Leman dan Lemah terlihat bergelantungan di dinding rumah, membuat suasana terlihat semakin suram dan sempit.
Walaupun terlihat sederhana, namun adanya sentuhan wanita membuat rumah mereka terlihat memiliki unsur seni, terbukti dengan diletakkannya dua vas bunga yang sudah kusam serta beberapa boneka kecil, yang menurut Lemoh, anak pertama Aki, ditemukannya di kali, yang berada tepat di depan rumah mereka.

“Anak saya Lemoh sering main di sungai. Kalau ada barang-barang yang masih bagus, suka diambil buat pajangan di rumah,” tambah Asni.
Tak ada kesan modern sedikitpun di rumah mereka. Tanpa televisi, yang ada hanya radio transistor rusak, yang sudah teronggok di sudut dapur. Listrik pun, baru mereka rasakan seminggu terakhir, setelah crew JIKA AKU MENJADI mengusahakan jaringan listrik masuk ke rumah mereka.

"Alhamdulillah, sekarang rumah sudah terang. Tadinya saya masih pakai lampu teplok. Kalau sudah jam sembilan, lampu saya matikan untuk ngirit minyak. Saya juga tidak perlu membayar iuran listrik ke tetangga, soalnya sudah dibayarkan ke mereka sampai satu tahun,” papar Aki senang.

Tetap Bersemangat

Asni sendiri tak pernah memaksa suaminya untuk bekerja terlalu keras, apalagi sekarang usia Aki sudah tak muda lagi. Asni sadar, jika saat ini sudah tidak memungkinkan bagi suaminya untuk menjadi buruh bangunan atau menggarap sawah milik tetangga.
Begitu juga dengan Aki yang menyadari jika usianya yang sudah memasuki kepala delapan saat ini, ia tak bisa mencari nafkah sekuat dulu. Meski begitu, ia tak mau jika hanya pasrah meratapi nasib, dan tetap semangat untuk bekerja sesuai dengan kemampuannya saat ini.

“Tenaga saya sudah tidak kuat. Makanya saya pilih pelihara bebek. Alhamdulillah ada juga saudara yang mempercayai saya memelihara kebunnya. Lumayan bisa ditanami palawija dan sayuran, walaupun hasilnya tak seberapa. Kalau saya hanya di rumah nggak mengerjakan apa-apa, nanti anak saya bagaimana,” tutur Aki, sambil menunjuk kebun di samping rumahnya.
Aki sempat menyatakan penyesalannya, karena tak bisa membahagiakan istri dan ketiga anaknya dengan materi yang cukup, apalagi jika mengingat masa mudanya yang kondisinya tidak separah sekarang.

Menurutnya, sebelum menikahi Asni dan masih terikat pernikahan dengan istri pertamanya, ia memiliki tanah warisan seluas 250 meter persegi. Namun sayang, demi menafkahi ketujuh anak dari istri pertama, satu persatu sawah yang dimilikinya pun di jual.
“Sawah terakhir saya jual untuk biaya nikah anak bungsu saya dari istri yang dulu. Akhirnya keluarga saya yang sekarang nggak kebagian apa-apa,” cerita Aki.

Untuk menambah penghasilan, Asni sering menerima tawaran tetangga menjadi buruh tanam padi, buruh cabut rumput, maupun buruh potong padi. Namun karena pekerjaan ini hanya bersifat musiman, Asni pun tidak bisa rutin membantu perekonomian keluarga.
“Kalau lagi musim paceklik, sawah sedang nggak ada kerjaann ya terpaksa saya nganggur di rumah. Sebenarnya kalau lagi ada pekerjaan seperti itu, hasilnya lumayan. Sehari saya bisa mendapat upah sepuluh ribu,” ucapnya.

Meskipun memiliki bebek, hasilnya menurut Asni tak seberapa karena tak semua bebek miliknya bertelur setiap hari. “Paling-paling sehari cuma nelur lima butir. Sekali-sekali saja kami goreng buat lauk, seringnya kami jual untuk kebutuhan sehari-hari,” ucapnya.

Dengan penghasilan yang tak menentu ini, tak heran jika Aki maupun Asni harus pintar-pintar mengatur pengeluaran keluarga. Beruntung sekali, semenjak ada BOS (Bantuan Operasional Sekolah), kini Asni tak perlu mengeluarkan uang untuk biaya sekolah ketiga anaknya di SD Sukamakmur 01, Bekasi.

“Kalau dulu ya pusing, kalau sudah waktunya bayar sekolah anak. Bisa menunggak sampai berbulan-bulan. Bahkan anak-anak pernah hampir tak bisa ujian gara-gara belum bayar SPP. Paling sekarang pusing kalau waktunya beli buku baru, atau keperluan sekolah lain,” terang Asni.

Disinggung soal kelanjutan sekolah Lemoh dan Leman yang kini sudah duduk di kelas 6 SD, baik Aki maupun Asni pun tak bisa langsung menjawab. Rupanya faktor biaya membuat mereka harus berpikir seribu kali untuk menyekolahkan mereka ke jenjang yang lebih tinggi.
“Saya sudah tidak berpikir untuk menyekolahkan mereka lagi. Untuk makan saja kami kerepotan. Bagaimana untuk biaya mereka nanti? Yang penting mereka bisa baca tulis, itu sudah cukup, supaya mereka tidak dibohongi sama orang.”

Makan Bubur

Sebagai istri yang telah menemani Aki selama lebih dari 15 tahun, Asni sendiri mengaku tak pernah menyesal telah menikah dengan suami yang sudah memberinya 3 orang anak tersebut.
Sejak awal, Asni telah menerima kondisi Aki apa adanya, walau untuk hidup bersamanya, ia mesti menderita secara ekonomi bersama ketiga anak mereka.

“Aki itu orangnya baik sama semua orang dan jujur. Dia nggak pernah mengeluh meski kehidupan kami seperti ini. Namanya rejeki sudah ada yang mengatur. Mungkin juga karena saya, Aki dan anak-anak sudah terbiasa hidup kekurangan, jadi walau hidup seperti ini nggak ada masalah,” ungkap Asni.

Bahkan untuk makan sehari saja, Asni terpaksa hanya bisa membuatkan satu gelas beras untuk dijadikan bubur dan dimakan dua kali untuk seluruh anggota keluarga.
“Kalau lagi ada beras, ya saya buatkan bubur gurih saja. Kalau dimasak nasi yang nggak cukup. Besok mau makan apa. Kalau lagi nggak ada uang ya terpaksa saya beli singkong, direbus buat ganti nasi,” ungkap Asni.

Untuk sayur, sebisa mungkin Asni tidak membeli dan memilih untuk memanfaatkan sayuran yang bisa diambil di sawah, maupun lahan kosong milik tetangga, yang digarapnya tepat di samping rumah. Tak jarang, di musim penghujan seperti ini, Asni memanfaatkan sayuran genjer yang tumbuh liar di sawah, untuk dijadikan teman bubur gurihnya.

Begitu pula untuk lauk, Asni hanya bisa sekali-kali membeli, itu pun hanya sebatas tahu tempe. Selebihnya, suami dan anak keduanya Leman lah yang bertugas mencari kerang di sungai, untuk dijadikan lauk pauk sehari-hari.

“Paling sering ya makan kerang, soalnya nggak perlu beli. Kerang juga bisa untuk tambah-tambah makanan bebek, jadi hampir setiap hari Aki dan Leman mencari kerang. Buat saya, kalau masih bisa nggak beli, ya nggak usah beli. Yang penting masih ada makanan buat makan, anak-anak nggak kelaparan, walau cuma bubur gurih, bagi saya sudah Alhamdulillah,” tuturnya.
Asni memang memilih berhemat, karena menurutnya tak hanya suami dan anak-anaknya saja yang mesti diberi makan. Menurutnya, dengan penghasilan yang minim ia masih harus memberi makan bebek yang jumlahnya tidak sedikit, namun dengan biaya yang tak sedikit pula.

Demi menghemat, terpaksa Aki hanya bisa memberi makan bebek peliharaannya sekali sehari dengan campuran dedak, genjer dan kerang. “Yang harus saya pikirkan ya saya mesti membeli dedak. Kalau campuran lain saya masih bisa mencari tanpa harus membeli. Makanya kalau sore saya pilih membawa mereka ke sawah biar mencari makan sendiri di sana,” ujar Aki.
Aki berharap, dengan bertambahnya bebek miliknya, membuat penghasilannya pun meningkat dan perekonomian keluarganya pun sedikit terbantu.

“Saya sudah terbiasa hidup susah, tapi saya ingin kehidupan anak saya lebih baik. Selagi saya mampu berusaha, saya tetap akan bekerja untuk menghidupi keluarga saya,” pungkas Aki.* Tari.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Dhimaz setiawan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger